Rabu, 24 Mei 2017

Hukum Industri II

Pengertian merek dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa merek :
  1. Tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari nama, kata, huruf-huruf, angka- angka, susunan warna tersebut.
  2. Memiliki daya pembeda (distinctive) dengan merek lain yang sejenis.
  3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis.

Pengertian hak atas merek dan pemilik merek hak cipta yaitu harus dapat melindungi ekspresi dari suatu ide gagasan konsep, salah satu cara untuk melindungi suatu hak cipta tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu dengan melakukan pendaftaran hak atas merek.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dalam pendaftaran merek, pemiliknya mendapat hak atas merek yang dilindungi oleh hukum.

Pemilik Merek merupakan pemohon yang telah disetujui permohonannya dalam melakukan pendaftaran merek secara tertulis kepada Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, sebagaimana yang temuat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Fungsi dan manfaat merek dibutuhan untuk melindungi produk yang dipasarkan dari berbagai tindakan melawan hukum pada akhirnya merupakan kebutuhan untuk melindungi merek tersebut. Merek merupakan suatu tanda yang dapat dicantumkan pada barang bersangkutan atau bungkusan dari barang tersebut, jika suatu barang hasil produksi suatu perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan merek.

Fungsi utama merek  (terjemahan    umum dalam  bahasa Inggrisnya adalah trademark, brand, atau logo) adalah untuk membedakan suatu produk barang atau jasa, atau pihak pembuat/penyedianya. Merek mengisyaratkan asal-usul suatu produk (barang/jasa) sekaligus pemiliknya. Hukum menyatakan merek sebagai property atau sesuatu yang menjadi milik eksklusif pihak tertentu, dan melarang semua orang lain untuk memanfaatkannya, kecuali atas izin pemilik.23 Dengan demikian, merek berfungsi juga sebagai suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa yang sejenis. Pada umumnya, suatu produk barang dan jasa tersebut dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan diberi suatu tanda tertentu, yang berfungsi sebagai pembeda dengan produk barang dan jasa lainnya yang sejenis. Tanda tertentu di sini merupakan tanda pengenal bagi produk barang dan jasa yang bersangkutan, yang lazimnya disebut dengan merek. Wujudnya dapat berupa suatu gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.

Merek juga dapat berfungsi merangsang pertumbuhan industri dan perdagangan yang sehat dan menguntungkan semua pihak. Diakui oleh Commercial Advisory Foundation in Indonesia (CAFI) bahwa masalah paten dan trademark di Indonesia memegang peranan yang penting di dalam ekonomi Indonesia, terutama berkenaan dengan berkembangnya usaha-usaha industri dalam rangka penanaman modal. Oleh karena itu, merek bermanfaat dalam memberikan jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal itu tersebut tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen. Selanjutnya, merek juga bermanfaat sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. Di pasaran luarnegeri, merek-merek sering  kali adalah satu-satunya cara untuk menciptakan dan mempertahankan “goodwill” di mata konsumen. Merek tersebut adalah simbol dengan mana pihak pedagang memperluas pasarannya di luar negeri dan juga mempertahankan pasaran tersebut. Goodwill atas merek adalah sesuatu yang tidak ternilai dalam memperluas pasaran.

Berdasarkan fungsi dan manfaat inilah maka diperlukan perlindungan hukum terhadap produk Hak Merek, ada 3 (tiga) hal yaitu :

  1. Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para penemu merek, pemilik merek, atau pemegang hak merek.
  2. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas Hak atas Merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak.
  3. Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.

Para produsen menggunakan merek dengan alasan untuk menunjukan suatu standar kuliatas/mutu tertentu menerima sehingga diharapkan dapat memperoleh jumlah penjualan  dan penguasaan pasar yang stabil untuk membedakan produk-produk tersebut dengan produk produk saingan yang ada dipasaran – sebab seorang konsumen yang ingin membeli produk akan mengenali ciri-ciri dari produk tersebut, sehingga dengan adanya “merek” pada produk mudah dibedakan.

Pemberian merek pada suatu produk mempunyai beberapa alasan sebagai berikut yaitu :
  1. Pertama : untuk tujuan identifikasi guna mempermudah penanganan atau mencari jejak produk yang dipasarkan.
  2. Kedua : melindungi produk yang unik (diferensisai) dari kemungkinan ditiru para pesaing.
  3. Ketiga : produsen menggunakan merek untuk menekanakan ”mutu” tertentu yang ditawarkan dan untuk mempermudah konsumen menemukan kembali produk tersebut.
  4. Keempat : sebagai landasan untuk mengadakan defensisai harga.


Penggunaan merek untuk  “dagang” yang digunakan oleh suatu perusahaan dapat dibedakan  atas  2 macam, yaitu :

Merek dagang untuk perusaahan (manufaktur brands) merupakan nama, merek yang digunakan untuk produk-produk tertentu yaitu merek-merek yang digunakan untuk masing-masing produk berbeda dengan produk lainnya. Contohnya Unilever memproduksi dan memasarkan sabun mandi merek Lux dan  Lifeboy.

Nama, merek keluarga perusahhan yang digunakan untuk seluruh produk secara kolektif (a blanket family name for all products). Contohnya  perusahaan Thosiba untuk seluruh produk dari hasil produksinya.

Nama, merek keluarga dipisahkan untuk seluruh produk (sparate family names for all products). Contohnya deodorant AXE (hanya digunakan untuk merek deodorant bagi laki-laki), dan Wardah (kosmetik khusus bagi wanita).

Nama, merek dagang perusahaan yang digunakan dikombinasikan dengan nama produk masing-masing (company trade name combined with individual product names). Contohnya merek Jhonnson & jhonnson (untuk produk bayi) atau digunakan untuk obat biang keringat. Atau merek mobil Toyota (digunakan untuk merek Toyota Crown , Toyota Kijang, Toyota Corona dan Toyota Corola).

            Merek Dagang Untuk Pendistribusian merupakan banyak pengusaha menggunakan merek dagang untuk produk yang dipasarkan dilihat dari manfaat atau kegunaanya dari merek tersebut, baik bagi produsen, penyalur ataupun bagi konsumen sebagai berikut:

Penggunaan merek bagi produsen mempunyai manfaat sebagai berikut :
  1. Sebagai landasan untuk melakukan identifikasi sehingga memudahkan mereka mencari atau membedakannya dari merek lain.
  2. Untuk mencegah atau  menghindari peniruan ciri khas dari suatu produk.
  3. Untuk menunjukan taraf mutu tertentu atas produk yang ditawarkan.
  4. Untuk membantu atau memudahkan konsumen mencari produk yang mampu memuaskan atau memenuhi kebutuhan dan keinginanya.
  5. Sebagai dasar untuk membedakan harga dari produk-produknya.

Penggunaan merek bagi penyalur mempunyai manfaat sebagai berikut :
  1. Untuk mempermudah penanganan produk.
  2. Untuk mempermudah mengetahui penawaran produk.

Penggunaan merek bagi konsumen mempunyai manfaat sebagai berikut :

Manfaat penggunaan merek bagi konsumen adalah agar mempermudah mereka mengidentifikasi produk yang diingiknkanya.penggunaan merek memudahkan perusahaan untuk menjadi “price maker” dan bukan sekedar “price taker”,karena melalui “merek” memungkinkan suatu perusahaan terhindar dari jebakan komoditas yang semakin beragam.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian yaitu Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 telah berlaku sebagai landasan hukum bidang perindustrian selama lebih 25 Tahun. Dalam proses begitu panjang, begitu banyak peristiwa-peristiwa ekonomi dan politik, sosial dan budaya yang memengaruhi eksistensi dari undang-undang ini. Berbagai pengaruh eksternal, diantaranya proses globalisasi perubahan bentuk, model dan perlakuan dari kegiatan industri telah membawa konsekuensi yang luas terhadap undang-undang ini. Begitu juga dengan pengaruh internal. Proses demokratis yang selama ini kita jalankan, telah memaksa kita (khususnya aparatur negara) untuk mengubah sikap dan tindakan yang mungkin berbeda dengan nilai yang kita anut sekarang. Dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya masyarakat kita juga mengalami berbagai perubahan yang besar. Disamping itu hingga kini belum semua peraturan pelaksanaannya terbentuk, masih banyak lagi pelaksanaan yang berkaitan dengan UU No. 5 Tahun 1984.

Dalam perlindungan industri maka pemerintah tidak hanya melakukan peran sebagai regulator saja namun pemerintah harus dapat berperan sebagai fasilitator, dinamisator bahkan sebagai kreator untuk industri di negaranya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 merupakan peraturan perundang-undangan yang paling pokok mengatur bidang perindustrian. Industri dipandang sebagai faktor yang memegang peranan dalam mencapai struktur ekonomi yang seimbang. Dalam struktur ekonomi ini diharapkan terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju dan yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kemampuannya sendiri.

Undang-undang dimaksud mengatur faktor-faktor yang menjadi arah dalam pembangunan dan pengembangan industri, yaitu :
  1. penyebaran dan pemerataan pembangunan industri.
  2. penciptaan iklim yang sehat bagi pembangunan industri.
  3. perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri.
  4. pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Konvensi Internasional untuk Hak Cipta. Konvensi internasional itu sendiri sering disebut pula perjanjian internasional. G. Schwarzenberger mengemukakan bahwa perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Jadi dapat saya disimpulkan bahwa, Konvensi Internasional merupakan bagian penting dalam proses perlindungan hukum terhadap hak cipta suatu karya dalam perlindungan Hak Cipta itu sendiri terdapat 2 konvensi besar yang sangat berpengaruh hingga saat ini, yaitu Konvensi Berner (Berner Convention) dan Konvensi Hak Cipta Universal (Universal Copyright Convention). Berikut sedikit penjelasan dari kedua konvensi tersebut.

1. Konvensi Berner (Berner Convention)

Konvensi Bern, merupakan suatu konvensi di bidang hak cipta yang paling tua di dunia yang dilaksanakan pada 1 Januari 1886. Pada konvensi ini keseluruhannya tercatat 117 negara meratifikasi. Selanjutnya Belanda pada 1 November 1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern, yang selanjutnya menerapkan pelaksanaan Konvensi Bern di Indonesia. Beberapa negara bekas jajahan atau di bawah administrasi pemerintahan Inggris yang menandatangani Konvensi Bern 5 Desember 1887 yaitu Australia, Kanada, India, New Zealand dan Afrika Selatan. Sampai pada tahun 1971 keanggotaan Konvensi Bern berjumlah 45 negara yang menjadi objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah, dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun, demikian yang dapat diungkap dari rumusan Pasal 2 Konvensi Bern.

Konvensi Bern telah mengalami revisi dan penyempurnaan. Penyempurnaan disini artinya khusus bagi negara dunia ketiga adalah dengan dimuatnya protokol (merupakan tambahan atau supplement dari suatu perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967. Kemudian protokol ini telah diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri dalam konvensi ini. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 21 dari teks Konvensi Bern yang terjemahannya berbunyi, “Ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan negara berkembang dimasukkan dalam appendix tersendiri dengan adanya protokol Stockholm ini maka negara-negara berkemabang mendapatkan pengecualian atau reserve yang berkenaan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Pengecualian ini hanya berlaku untuk negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural. Pengecualian dapat dilakukan mengai hal yang berkenaan dengan hak melakukan terjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutio dari artikel-artikel dari berta pers, hak untuk melakukan siaran radio dan perlindungan dari karya sastra dan seni untuk tujuan pendidikan, ilmiah, atau sekolah.

2. Konvensi Hak Cipta Universal (Universal Copyright Convention)

Universal Copyright Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1992 dan baru mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini juga mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris. Konvensi ini terdiri dari 21 Pasal dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang pelarian. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya dari organisasi internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Ini lah yang menjadi dasar konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO, oleh sebab itu dalam protocol ini diatur secara khusus perlindungan karya dari badan organisasi internasional. Protokol III mengenai tentang cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan bersyarat dalam protokol 1 dapat dimengerti bahwa perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang pelarian sangat penting karena secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau orang-orang pelarian perlu dilindungi. Salah satu tujuan perlindungan hak cipta itu dapat tercapai yaitu untuk mendorong kreativitas dan aktivitas para pencipta tidak terkecuali orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan maupun orang-orang pelarian. Dengan dilindunginya hak ciptanya, maka mereka mendapatkan kepastian hokum, jika dibandingkan antara Konvensi Bern dan Universal Copyright Convention, perbedaannya terletak pada dasar falsafah yang dianutnya. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli. Sedangkan Universal Copryright Convention menganggap bahwa hak cipta timbul karena adanya ketentuan yang memberikan hak tsb kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut. UHC 1982 diperbarui dengan UHC 1987, dimana hak cipta dilahirkan oleh undang-undang. Pembatasan-pembatasan tertentu antara lain menyebutkan bahwa hak cipta itu berfungsi social.

Konvensi-konvensi internasional terkait dengan hak kekayaan intelektual selalu bermotifkan ekonomi. Tidak mengherankan bila pengusung konvensi internasional adalah negara-negara maju yang menghasilkan komoditas yang memiliki Hak Cipta seperti perangkat lunak komputer, film, inovasi teknologi dan sebagainya. Untuk itulah negara-negara maju seringkali menekan negara-negara berkembang agar memberlakukan hukum Hak Cipta di negaranya guna melindungi komoditas ekspornya. Namun tidak dapat dipungkiri dalam hal hak kekayaan industri konvensi-konvensi internasional ini sangat berpengaruh. Hal itu dikarenakan sebelum adanya konvensi internasional di bidang properti industri, individu dan negara sulit untuk memperoleh perlindungan hak kekayaan industri di berbagai negara di dunia karena keragaman hukum antara satu negara dengan negara lain.

Sumber :
Margono Suyud. 2010. Hukum Hak Cipta di Indonesia Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan World Trade Organization (WTO)-TRIPs Agreement. Bogor: Ghalia Indonesia.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
Umbara, Citra, 2001, Undang-undang Republik Indonesia tentang Paten dan Merek 2001, Penerbit: Citra Umbara, Bandung.
Saidin, S.H, M.Hum. 1997 Aspek Hukum Kekayaan Intelektual.Rajawali Pers. Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2009, Hak atas Kekayaan Intelektual, Penerbit: Sinar Grafika Jakarta.